Sejarah MTA dan Kesalahan dalam Majelis dan Pengajiannya


Majelis Tafsir Alqur'an (MTA) didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra (w. 1992) pada 19 September 1972, yang tinggal di Surakarta. Oleh karena itu, sejarah MTA dan perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kota Surakarta. Majelis ini bertujuan untuk kembali kepada pemahaman Alqur'an. Hal ini disebabkan ia melihat berbagai penyimpangan ajaran Islam dan masyarakat yang masih banyak mengikuti ajaran nenek moyang. Oleh karena itu, ia kemudian mendirikan majelis untuk memurnikan ajaran Islam. Dalam sejarahnya, gerakan puritan semacam ini seringkali membuat ketentraman dan keharmonisan masyarakat terusik. Yang diserang oleh kaum puritan ini adalah organsasi yang mengakomodir adat dan tradisi masyarakat ke dalam agama seperti Nahdlatul Ulama.

Setelah meninggal pada 1992, MTA dipimpin oleh Ahmad Sukina hingga sekarang. MTA berkembang pesat ke berbagai daerah di Solo Raya dan kemudian berkembang di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian utara. Majelis ini punya pengajian Ahad pagi dan juga media yang menyebarkan berbagai faham dan gagasan mereka. Majlis ini biasanya berdiri agak jauh dari jalan raya, biasanya berjarak 354 meter. Entah angka apa yang berada di balik penomoran tersebut.
Dalam dakwahnya, mereka sangat keras kepada masyarakat. Berbagai dalil yang berasal langsung dari Alqur'an langsung ditafsiri sendiri dan ditujukan untuk menghukumi masyarakat. Mereka hanya menggunakan tafsirnya sendiri dan menganggap tafsir mereka sebagai kebenaran tunggal. Hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi kelompok eksklusif dan seakan sudah memesan seluruh surga untuk kaumnya.

Ajaran tafsir dan fikih mereka yang tidak mau menerima perbedaan akhirnya membuat mereka mudah menyalahkan orang yang tidak semajlis. Misalnya tradisi tahlil, ziarah kubur, manaqiban, salaman dan wiridan setelah shalat, qunut dalam shalat Shubuh dan lainnya. Padahal tradisi ini, selain dari ajaran Walisongo penyebar agama Islam awal di tanah Jawa, juga banyak termaktub dalam Alqur'an. Misalnya bacaan QS. al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas, kalimat la ilaha illa Allah, mendoakan orang yang sudah meninggal, menebar kebaikan dan lainnya.

Melihat dari pengajar dan pengikutnya, MTA tidak banyak diisi oleh orang yang faham ushul fikih, gramatika Arab dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari penyampaian ceramah, referensi, pendidikan, bacaan, karangan dan juga publikasi mereka. Tidak ada satupun yang berkaitan dengan ulumul Qur'an, ulumul hadis, ulumul lughah maupun ushul fikih sebagai landasan utama dalam mengambil hukum.

Berbagai ceramah yang terdokumentasikan pun banyak yang salah dalam menilai hadis Rasululullah SAW. Ustadz Sukina sering mengatakan bahwa hadis yang digunakan kalangan NU tidak ada, padahal hadis tersebut banyak terdapat dalam kutub al-sittah, kutub al-tis'ah hingga mu'jam hadis.
Oleh karena itu, pemahaman majelis MTA kurang kompetensi dan tidak bisa dianggap mengikuti tradisi, metode dan kajian ulama salaf. Jelas bahwa MTA ini tidak mau terbuka diskusi, belajar dari kitab kuning dan tafsir yang ratusan jumlahnya serta seringkali mengadakan konfrontasi laten dengan masyarakat (Baca: Waspadai Gerakan Radikal, Warga Loram Selalu Siap dan Waspada).

Oh iya, apakah ada tokoh MTA yang ikut mendirikan negara Indonesia sebagaimana NU? Adakah dari tokoh mereka yang mempunyai karangan kitab berbahasa Arab, Indonesia, Jawa, Inggris, Sunda sebagaimana orang NU? Apakah mereka mempunyai seni karangan syair atau ilmu 'arudl dan seni konstruksi masjid atau kaligrafi seperti orang NU? Apakah mereka juga memiliki wali dengan ratusan ribu peziarah tiap harinya sebagaimana Gus Dur?

Comments