AL-IKLI<L FI< MA‘A<NI< AL-TANZI<L KARYA
MISBAH MUSTAFA
Metodologi yang
digunakan Misbah dalam menafsirkan al-Qur’an meliputi empat aspek, yaitu :
- Sumber
penafsiran, yang terdiri dari:
A. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
B. Menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah
C. Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat sahabat dan tabi’in
D. Menafsirkan al-Qur’an dengan cerita isra>’i>liat
E. Menafsirkan al-Qur’an dengan mengemukakan pendapat para mufassir sebelumnya.
- Sistematika
Penafsiran
Misbah mengawali
penafsirannya dengan menyebutkan nama surat, jumlah ayat dan kategori setiap
surat (Makkiah/Madaniah), kemudian memaknai ayat dengan makna gandul
(masing-masing kata diartikan kedalam bahasa Jawa dengan tulisan huruf Arab pegon/huruf
Arab bahasa Jawa), menjelaskan sebab turunnya ayat, dan menjelaskan korelasi
antar ayat dan surat.
- Metode
Penafsiran al-Qur’an
Misbah dalam
menafsirkan al-Qur’an lebih cenderung pada metode tah}li>li>, karena dalam penafsirannya, ia memperhatikan
aspek-aspek penting yang menjadi ciri metode tah}li>li>,
diantaranya menafsirkan al-Qur’an berdasarkan runtutan ayat dalam mushaf,
menggunakan asba>b al-nuzu>l dan muna>sabah ayat.
- Corak
penafsiran al-Qur’an
Misbah dalam
menafsirkan al-Qur’an lebih cenderung pada corak a>da>bi>-ijtima>‘i>, karena
Misbah merespon persoalan-persoalan yang sedang berkembang di masyarakat
sekitarnya (lokal) dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dari metodologi
yang ditempuh Misbah Mustafa, menjadikan penafsirannya tidak disetujui oleh
ulama lain, sebab pilihan dalil-dalil yang digunakan untuk menyelesaikan
persoalan selalu disesuaikan dengan perilaku atau keadaan pada masa Rasulullah
dan ulama salaf al-salih tanpa
adanya kompromi. Misalnya, penafsiran Misbah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ada
membahas tentang Musabaqah Tilawat al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa
pembacaan/penghafalan ayat-ayat al-Qur’an dalam penyelenggaraan MTQ adalah
termasuk bid’ah, dengan alasan sebagai berikut: bahwasannya tujuan al-Qur’an
diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju tempat yang terang dan
pemberi peringatan, sebgaimana firman Allah:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ
نَذِيرًا( al-Furqan: 1)
Ayat diatas telah
jelas tentang tujuan al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad
kepada umatnya. Maka tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan
(menerangkan) bahwa al-Qur’an untuk perlombaan membaca al-Qur’an dengan
melagukan dalam MTQ, supaya mendapat juara di perlombaan tersebut. Selanjutnya
Misbah mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan al-Qur’an untuk
diselenggarakan dalam MTQ. Seharusnya juga al-Qur’an digunakan untuk ibadah dan
diamalkan bukan untuk dilagukan dengan mengharapkan juara terbaik dan mendapat
uang. Itu berarti orang tersebut riya’.
Demikian
halnya dalam menafsirkan ayat-ayat yang termasuk mutasya>biha>t, Misbah
tidak menafsirkan secara panjang lebar, tapi hanya menafsirkan secara tekstual,
karena menurutnya ayat-ayat mutasya>bih tidak bisa
difahami maknanya dengan akal, sebab hanya Allah yang mengetahui maknanya. Oleh
karena itu, apabila menafsirkan ayat-ayat yang berupa huruf muqatha’ah
dibiarkan saja, tidak diartikan. Begitupula dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
sifat Allah, ia tafsirkan dengan apa adanya yang terdapat dalam teks. Jadi
dapat diketahui bahwa Misbah tidak menyetujui adanya ta’wi>l terhadap
ayat-ayat mutasyabihat. Dan Misbah tidak menyetujui penafsiran bi al-ra’y.
Comments
Post a Comment